Sunday, November 1, 2009

Kepemimpinan Berbasis Komunitas dalam OMS

KEPEMIMPINAN BERBASIS KOMUNITAS DALAM OMS
Source : Frans Toegimin

Seorang pemimpin yang baik dalam organisasi diyakini dapat memberikan andil yang besar kepada organisasinya, apapun bentuk, karakter, tujuan maupun budaya oraganisasi yang dipimpinnya. Organisasi yang dimaksud bisa berbentuk negara, partai politik, Organisasi Masyarakat Sipil – OMS (termasuk NGO) atau lembaga kemasyarakatan lainnya. Pemimpin sangat berperan dalam menentukan arah (orientasi) organisasi yang dipimpinnya. Ia harus bisa memfasilitasi organisasi dalam menentukan visi dan misi yang akan dilaksanakan dalam mencapai cita-cita organisasinya. Oleh sebab itu kehadiran pemimpin menjadi sesuatu yang amat menentukan bagi jatuh bangunnya – maju atau mundurnya sebuah organisasi.

Ada cukup banyak konsep (teori) tentang pemimpin dan kepemimpinan. Henry Blanchard lebih meyakini bahwa memimpin adalah “proses mempengaruhi orang/kelompok lain untuk mencapai suatu tujuan”. Dalam hal ini “pengaruh” menjadi kunci utama bagi seorang pemimpin. Orang yang tidak bisa mempengaruhi orang / kelompok lain pasti tidak bisa menjadi seorang pemimpin. Kekuatan untuk mempengaruhi tanpa mendominasi dan intimidasi menjadi faktor yang penting. John W. Gardner punya pendapat yang senada dengan Blanchard, yaitu “memimpin adalah suatu proses untuk membujuk atau memberi contoh dimana seorang pribadi atau pemimpin termasuk dalam sebuah group, mengejar tujuan yang dipegang oleh seorang pemimpin atau dibagikan antara pemimpin”. Dalam konsep ini contoh dari seorang pemimpin menjadi penting, walaupun hal semacam itu sekarang sudah semakin sulit didapatkan bagi kita di Indonesia, sehingga sering muncul anekdot bahwa sebagian besar orang Indonesia menderita sakit mata dan telinga, karena apa yang didengar (dari para pemimpin) seringkali berbeda dengan apa yang dilihat (yang dilakukan oleh para pemimpin)!!. Ajaran ”ing ngarso sung tulodho” dari Ki Hajar Dewantara seolah semakin jauh dari kehidupan para pemimpin di Indonesia.
Sedangkan Walter C. Wright mendefinisikan kepemimpinan sebagai “suatu hubungan dimana seseorang berusaha untuk mempengaruhi pikiran, kebiasaan, keyakinan atau nilai-nilai orang lain”. Dengan demikian, Wright lebih ”ideologis”, karena tidak sekedar mempengaruhi hal-hal yang praktis dan pragmatis, tetapi sampai masuk ke ranah keyakinan dan nilai-nilai.
Terlepas dari ketiga konsep itu, pada prakteknya, pemimpin dan kepemimpinannya bisa jadi sudah merupakan suatu bakat sejak lahir dalam diri seseorang, didorong oleh suatu keadaan tertentu. Itulah sebabnya kita sering mendengar bahwa “pemimpin sejati itu dilahirkan”, bukan diangkat (karena kepangkatan, golongan) atau dipilih (musyawarah, voting, dll). Pengertian dilahirkan pasti bukan pengertian harafi’ah. Dilahirkan di sini dapat diartikan “muncul dan berperan pada situasi tertentu” karena setiap jaman memerlukan pemimpin dengan karakter tertentu . Akan tetapi ada pula yang berpendapat bahwa pemimpin dan kepemimpinan dapat dibentuk melalui suatu proses (pendidikan, latihan, on the job training, dll), untuk itulah ada “suspin” – kursus untuk para (calon) pemimpin, dll.
Memang, ada cukup banyak konsep kepemimpinan yang coba ditawarkan untuk menyikapi berbagai perubahan yang ada. Sampai-sampai dalam konteks komunitas yang lebih terbatas muncul pula konsep-konsep kepemimpinan yang lebih specific seperti Heroic Leadership oleh Chris Lowney yang mengangkat Kominitas Jesuit sebagai basis analisisnya dalam Servant Leadership oleh Robert Greenleaf yang diinspirasikan oleh komunits Kristen.
Dalam perkembangan selanjutnya, praktek-praktek kepemimpinan semakin dipengaruhi oleh (paling tidak) dua hal, yaitu (i) gaya kepemimpinan yang dimiliki sang pemimpin dan (ii) tuntutan lingkungan (kebutuhan, permasalahan, karakter, dll) termasuk kelompok-kelompok yang dipimpin. Itulah sebabnya gaya kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Henry Blanchard memberikan acuan bagaimana pemimpin meningkatkan ketrampialannya dalam mengembangkan sumberdaya manusia yang dipimpinnya. Blanchard memberikan inspirasi penting tentang teknik-teknik memimpin manusia berdasarkan tingkat perkembangan mereka. Secara teknis konsep Blanchard dirasakan cukup cocok untuk kepemimpinan yang berbasis komunitas dan banyak diadopsi oleh LSM dan komunitas-komunitas lain di Indonesia yang bersifat semi-formal. Dalam kepemimpinan situasional ini Blanchard membaginya dalam 4 gaya , dan lebih menekankan aspek managerial. Konsep Blanchard ini menyikapi penyeledikian panjang Anthony D’Souza yang menyimpulkan bahwa “the sinlge greatest problem of the leader is a lack of managerial skills” Apa yang dinyatakan Souza kiranya sangat pas (cocok) dengan situasi di Indonesia, khususnya di dunia OMS (termasuk LSM). Dalam konteks Indonesia, LSM dikenal sebagai komunitas informal (bukan dalam pengertian legalitas, tetapi dalam pengertian praxis) . Kebutuhan akan pentingnya management dalam LSM baru dipromosikan dengan sungguh-sungguh sekitar 5 sampai 15 tahun terakhir, yang antara lain diprakarsai oleh MIM (Manitoba Institute of Management) yang bekerjasama dengan 5 LSM besar di Indonesia (BINGO) . Pada akhir tahun 80an masih banyak aktivist LSM yang menyatakan bahwa LSM tidak memerlukan management. Lama kelamaan ‘sikap’ semacam ini sudah mulai menghilang, karena mulai banyak tekanan dari lembaga donor (yang menghendaki adanya perbaikan management dalam LSM) dan adanya beberapa LSM yang dengan gencar mempromosikan “management for non-profit organization” sebagai bagian dari peningkatanan kapasitas LSM. Bahkan akhir-akhir ini semangat “good governance, transparansi dan akuntabilitas” sudah menjadi ‘obat’ sehari-hari untuk banyak LSM.

Dalam hal kepemimpinan berbasis komunitas, Greenhalf mempunyai pendapat yang cukup menarik, yaitu ; “Suatu tanda / bukti bagi pemimpin adalah apabila ia dalam posisi menunjukkan jalan (memberikan altrenatif) bagi orang lain dari pada menentukan jalan bagi orang lain. Selama seseorang sedang memimpin, ia harus mempunyai tujuan (goal). Tujuan tersebut bisa diambil dari kesepakatan orang-orang yang dipimpinnya, atau pemimpin aktif memberikan inspirasi untuk merumuskan tujuan. Sudah pasti pemimpin harus tahu tentang tujuan itu dan dapat menyampaikan kepada orang lain dengan baik, dengan pernyataan-pernyataan yang jelas. Pemimpin perlu membantu anggota kelompok lain untuk memahami dan mencapai tujuan tersebut”.

Dengan demikian sudah cukup jelas bahwa kepemimpinan yang berbasis komunitas masyarakat sipil yang juga cocok untuk Organisasi Masyarakat Sipil adalah kepemimpinan yang mempunyai ciri-ciri sbb ;

• Kepemimpinan yang egaliter berdasar seni dan pemahaman terhadap manusia secara menyeluruh dengan semangat kesederhanaan (simplicity) dan low profile.
• Menampakkan sikap menjadi diri sendiri (sapere aude) dan menjaga semangat keteladanan dalam semua aspek, sebab semua orang menuntutnya demikian.
• Mampu menjadi penengah dalam sengketa dan tidak membangun wibawa berdasarkan harta dan kuasa.
• Bertugas menjadi fasilitator utama (primus inter peres), sehingga lebih bersifat melayani daripada mendominasi

(Ciri-ciri tersebut di atas linier dengan konsep Leadership by Passion (kepemimpinan berdasarkan passi) yang dikembangkan oleh Pieter Usbander dalam Leadership from Within. Leadership by Passion lebih menekankan pematangan sikap yang dibangun dari dalam, yang kemudian memunculkan motivasi. )

Ciri-ciri di atas cukup berbeda dengan keadaan di lembaga bisnis yang pada umumnya ;

• Lugas dan mementingkan tugas (task oriented), mengejar tercapainya image “a real manager” atau executive proffesional
• Menjaga wibawa dengan berbagai cara agar perintah dapat menggerakkan organisasi (penampilan formal dengan dasi sebagai asesori yang dianggap penting – walaupun dirasa tidak nyaman, kantor representaive dan lokasi kantor yang tidak ‘di sembarang tempat’, jenis kendaraan yang digunakan, dll), kalau perlu dengan rewards and penalty system
• Pimpinan bertugas memberikan direction/arah, bukan alternatif-alternatif.

Sedangkan motivasi dan komunikasi yang diperlukan oleh seorang pemimpin yang berbasis komunitas adalah ;

• Perlu lebih memperkuat “motivated factors”
• Pimpinan semua bagian harus ahli dalam bidang ini (motivasi dan komunikasi) melebihi keahlian lain yang diperlukan.
• Komunikasi bukan pertama-tama soal keahlian, tetapi terutama sikap batin dan perilaku (attitude) seseorang.
• Pertemuan rutin bukan hanya untuk rapat (salah satu media pengambilan keputusan) tetapi tatap hati dan sharing  memperkuat hubungan antar manusia, interaksi intensif.
• Lebih banyak memberikan dorongan dan inspirasi dibanding ”directing and teeling”.
• Reward lebih bermakna dari pada incentive system.
• Staf yang menghitung uang pada hari pertama bekerja kemungkinan besar bukan assets yang sustainable untuk LSM / NGO yang bersangkutan.
• Staff development adalah investment paling baik untuk organisasi

Bila dilihat dari budaya organisasi (organization culture), ada 4 alternatif kepemimpinan yang bisa dikembangkan, tergantung fokus pengembangan organisasi dan tingkat perkembangan organissi dari masing-masing OMS. Ke-empat kecenderungan budaya organisasi tersebut adalah ; Budaya Kekerabatan (Clan), Budaya Herarkhi, Budaya Pelayanan, Budaya Adhokrasi. Ciri-ciri masing-masing budaya organisasi tersebut adalah sebagai berikut ;

Budaya Kekerabatan (Clan)

• Tempat yang nyaman untuk bekerja di mana orang dapat sharing tentang diri mereka dengan enak
• Seperti keluarga besar
• Pimpinan merasa seperti mentor, bahkan mungkin berlaku seperti orang tua.
• Organisasi ditopang oleh loyalitas dan tradisi secara bersama-sama
• Organisasi menekankan pentingnya manfaat jangka panjang dalam pengembangan individu dengan tetap menjaga moral dan kekerabatan
• Sukses diartikan sebagai suasana internal yang nyaman dan saling peduli
• Organisasi sangat menghargai tim kerja, partitisipasi dan konsensus

Budaya Herarkhi

• Dicirikan dengan formalitas dan strukturisasi tempat kerja.
• Karyawan / staf bekerja berdasar prosedur baku
• Pimpinan yg efektif berperan sbg koordinator dan pengorganisir yg baik
• Memelihara kelancaran pengelolaan organisasi menjadi hal penting
• Stabilitas, efisiensi dan arah yg terkendali merupakan arah jangka panjang
• Aturan formal dan kebijakan menopang secara bersama-sama

Budaya Pelayanan

• Betul-betul tempat bekerja dengan orientasi hasil
• Persaingan keras dan banyak tuntutan
• Perhatian (staff à lembaga, v.v) dan keunggulan sebagai perekat yang menopang organisasi
• Arah jangka panjang adalah kegiatan yg kompetitif dan pencapaian tujuan & target secara langsung
• Sukses diartikan sebagai penguatan TG dan perluasan program
• Penting untuk memenangkan kompetisi dan kedekatan dengan TG


Budaya Adhokrasi

• Tempat kerja yang dinamis, kreatif dan semangat kewiraan usaha (enterpreunership) yang tinggi.
• Orang suka mengambil resiko dan prihatin
• Kepemimpinan yang efektif adalah visioner, inovatif dan berani mengambil resiko
• Perekat utama yang menopang organisasi adalah komitmen untuk berani mencoba dan inovasi
• Menekankan pentingnya penguasaan pengetahuan baru, produk pelayanan lembaga
• Kesiapan untuk berubah dan menghadapi tantangan baru adalah penting. Arah jangka panjang adalah pertumbuhan yang cepat dan penguasaan sumberdaya
• Sukses diartikan dapat menghasilkan sesuatu yang unique dan asli dalam pelayanan

No comments:

Post a Comment