Sunday, November 1, 2009

Pilar Kepemimpinan Komunitas

PILAR KEPEMIMPINAN KOMUNITAS
Pilar-pilar Kepemimpinan Komunitas

Sukses Serikat Jesuit dalam kepemimpinan berbasis komunitas telah menjadi inspirasi bagi banayak lembaga dan korporasi di zaman modern. Dalam kalangan individu, kelompok ini juga telah menjadi inspirasi untuk inovasi bagi dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, teolog, diplomat, activist HAM, musisi, pembuat peta, pelobi, penulis buku anak-anak dan lain-lain.

Mengapa dia menyebut kelompok itu sukses? Dia memperlihatkan dengan menyebutkan sejumlah tokoh yang lahir dari kelompok itu seperti salah satu tokoh penjelajah Benedetto de Goes, ahli linguistik Matteo Ricci, serta pakar matematika serta astronomi Christopher Clavius.

Kelompok ini juga memiliki banyak tokoh-yang menjadi inspirasi untuk inovasi bagi pihak lain-di berbagai bidang seperti pendidikan, teolog, diplomat, aktivis HAM, musisi, pembuat peta, musisi, pelobi, penulis buku anak-anak, dan bidang lainnnya termasuk penghasil meriam.

Bukan ini saja, kelompok itu sangat dipercaya pada zaman klasik oleh monarki Eropa, Dinasti Ming (China), Shogun Jepang, Kekaisaran Mughal di India, dan menjadi kelompok yang tidak tertandingi oleh siapa pun dari korporasi bisnis, organisasi keagamaan, hingga badan-badan pemerintah.

Sukses kelompok ini juga tidak hanya terlihat dari eksistensi perusahaan yang bertahan hingga kini dengan keberadaan 21.000 personel yang mengelola 2.000 lembaga (terutama pendidikan) yang berada di lebih kurang 112 negara dan di semua benua. Sekolah-sekolah dan universitas-universitas milik Jesuit terus mencetak pemimpin di banyak bidang di dunia ini. Misalnya, ada 40 alumnus Jesuit yang kini duduk di Kongres AS. Pemimpin lain hasil didikan Jesuit adalah mantan Presiden AS Bill Clinton, aktor AS peraih Oscar Denzel Washington, Presiden Meksiko Vicente Fox, Pemimpin Kuba Fidel Castro, mantan Presiden AS Francois Mitterand, mantan Ketua NBC yang kini menjadi Ketua Sony Corporation Robert C Wright, mantan PM Kanada Pierre Trudeau, dan banyak lagi.

ADA yang sangat unik dari Heroic Leadership. Dia tidak fokus pada apa yang seharusnya dilakukan pemimpin, tetapi siapa itu seorang pemimpin. Dia juga tidak membahas soal figur seorang pemimpin yang mengomandoi sebuah organisasi. Bahkan menurut Lowney, sistem komando dan kontrol di dalam sebuah organisasi justru menjadi persoalan, dengan catatan jika perusahaan hanya mengutamakan komando dan kontrol itu sendiri.

Dia mengatakan itu berdasarkan analisis historis tentang sepak terjang Jesuit selama 450 tahun lebih. Dari analisis itu, dia menyimpulkan Loyola beserta sembilan rekannya yang masuk dalam kelompok yang terdiri dari 10 orang adalah peletak dasar kepemimpinan Jesuit. Ke-10 orang itu sudah tiada sejak lama, namun kepioniran Jesuit tetap muncul dan berlanjut.

Hebatnya lagi, kelompok itu pada awalnya tidak punya modal dan tidak pula punya perencanaan bisnis (business plan). Namun, organisasi yang berdiri pada abad ke-16 ini mampu mencipratkan sinar yang jelas soal kepemimpinan. Kelompok ini memiliki corporated culture (kultur perusahaan) yang jelas yang oleh Jesuit disebut sebagai modo de proceder (cara kita melakukan banyak hal atau the way we do things).

Menurut Lowney, sebuah riset paling mendalam telah memperlihatkan bahwa lembaga yang sukses hanyalah lembaga yang memiliki corporate culture, yang memiliki kekhasan tersendiri yang sulit ditandingi pihak lain, dan budaya itu mengena serta bertahan seiring dengan berjalannya waktu.

Dengan mendalami sejarah Jesuit, Lowney menarik kesimpulan sendiri apa yang ada di balik sukses Jesuit, yang terletak pada empat pilar, yakni self-awareness, ingenuity, love, dan heroism yang diletakkan. Lowney mengingatkan, empat pilar itu bukanlah kata yang terucap secara an sich dari kelompok Jesuit, tetapi merupakan terminologi yang dia ciptakan sendiri untuk memudahkan publik mencerna kesuksesan kelompok itu.

Dengan model kepemimpinan yang disebut sebagai corportate culture itu, organisasi berjalan bukan berdasarkan atau tidak terletak pada komando dari orang yang duduk di puncak perusahaan. Sistem komando terpusat justru memiliki persoalan dengan sulitnya mengontrol cabang-cabang yang begitu banyak dan tersebar dengan jarak yang berjauhan.

Kepemimpinan, dalam pandangan Lowney, justru terletak pada setiap perorangan yang berada di dalam sebuah organisasi. Teori kepemimpinan baku, yang lebih kurang merujuk pada keberadaan seorang pemimpin puncak untuk memengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu, justru dia buang jauh-jauh.

Kepemimpinan ada pada perorangan di setiap lini, di bagian mana pun, yang memegang empat pilar itu. "Saya ingin mendalami insting Jesuit bahwa kepemimpinan dan kepahlawanan ada pada kehidupan seseorang, bukan hanya milik para jenderal militer, bintang-bintang bola basket dan pahlawan sejenisnya," katanya.

Setiap orang di Jesuit memiliki self-awareness (kesadaran diri sendiri), yang mengerti kekuatan, kelemahan, memiliki nilai-nilai, dan pandangan tersendiri. Personel Jesuit juga memiliki ingenuity, yakni kemauan berinovasi dengan keyakinan dan mau menyesuaikan dengan perubahan dunia. Personel Jesuit juga memiliki love, yang mendorong seseorang berinteraksi dengan pihak lain dengan tingkah laku positif yang juga bisa membuka potensi pihak lain. Personel Jesuit juga memiliki heroisme, mengoptimalkan potensi diri sendiri dan potensi orang lain dengan dasar ambisi heroik dan disertai keinginan sendiri dan bersama-sama untuk mencapai keberhasilan.

Keempat pilar itu terletak pada masing-masing benak seseorang-secara pribadi dan sebagai profesional-yang berakar pada ide bahwa kita semua adalah pemimpin. Loyola dan rekannya menemukan lingkungan yang diwarnai "cinta yang lebih hebat ketimbang ketakutan". Mereka menempatkan harapan pada talenta setiap orang, memperlihatkan bahwa sukses berasal dari komitmen banyak orang, bukan dari komitmen seorang pemimpin tertinggi semata.

Ada yang mengatakan kepada Lowney bahwa keberhasilan Jesuit bukanlah sesuatu yang istimewa. Sebabnya, serikat itu dipenuhi oleh orang-orang religius dan semuanya Katolik, serta memang sudah bertugas menjadi seorang pelayanan yang tidak memiliki pamrih apa pun sebagaimana orang awam.

Lowney dengan gampang mematahkan argumentasi itu. Apakah semua orang religius atau pastor berbuat serupa dengan Jesuit? Lalu, apakah semua organisasi keagamaan memiliki sukses serupa dengan Jesuit? Dia malah balik bertanya kepada pihak yang mencoba menempatkan Jesuit sebagai organisasi biasa dengan dasar keagamaan yang tidak perlu dikagumi.

Lowney mengatakan, pihak Jesuit sendiri juga mengatakan hal serupa bahwa Jesuit tidak istimewa karena memang kelompok itu berdiri untuk pelayanan. Namun, Lowney mengatakan bahwa Jesuit punya keunikan di dalam sistem organisasinya yang didasarkan pada empat pilar tadi.

Sejak itu dia langsung bekerja pada JP Morgan dan pernah menduduki jabatan Direktur Pelaksana JP Morgan & Co dan menduduki jabatan senior di New York, Tokyo, Singapura, dan London. JP Morgan bergerak di bidang bank investasi, berada di urutan pertama sebagai perusahaan yang dikagumi di AS berdasarkan peringkat yang disusun oleh majalah Fortune.

Ketika berada di seminari dia pernah mengajar dan belajar di lembaga pendidikan Jesuit di AS dan Puerto Rico. Dia lulus dengan predikat summa cum laude dari Fordham University, New York, yang dikelola Jesuit. Ia juga meraih gelar doktor kehormatan dari Marymount Manhattan University dan University of Great Falls.

Dia kini tinggal di New York dengan posisi sebagai Special Assistant to the President of the Catholic Medical Mission Board (CMMB), yayasan Katolik berbasis di AS yang memberi program kesehatan dan jasa kepada orang miskin di dunia. Dia sering kali mengunjungi banyak negara seperti Kenya, Afrika Selatan, Zambia, dan India.

Dua puluh persen dari royalti penjualan buku dari edisi AS disumbangkan ke yayasan yang memberikan pelayanan pendidikan dan kesehatan anak-anak di negara berkembang.

Dia mengaku tetap seorang religius dan masih berstatus singel dengan alasan belum mendapatkan jodoh. Ia keluarga dari JP Morgan walau mengakui beruntung hidup dengan gelimang kemewahan, namun berikrar akan memulai babak kehidupan baru untuk lebih bisa mencari duit sendiri dan memberi sumbangsih kepada pihak lain secara materi dan ilmu.

Menjalani kehidupan yang religius dan melayani masih tetap menjadi ambisinya, walau ia tidak lagi menjadi seminaris atau tidak menjadi pastor. Dengan alasan itu jugalah ia mengundurkan diri dari JP Morgan bukan karena sakit hati atau bertengkar dengan teman-temannya di JP Morgan.
Dia kini malang-melintang dengan mengunjungi berbagai negara, tampil sebagai pembicara dengan topik yang beraneka ragam seperti kepemimpinan, etika bisnis, dialog internasional soal hubungan antar-agama, mulai dari berbagai kota di AS hingga Filipina, Meksiko, Indonesia, Kolombia, dan Spanyol.
Jangan tanyakan siapa idolanya. "Dengan memilih idola bernama besar, itu hanya mematrikan opini bahwa hanya seorang bernama besarlah yang bisa melakukan sesuatu yang istimewa. Setiap orang memiliki keistimewaan dan kepemimpinan, yang bisa menghasilkan sesuatu jika dikembangkan dan didukung oleh lingkungan yang baik," katanya. (MON)

No comments:

Post a Comment