Sunday, November 1, 2009

USC - Pelatihan Kepemimpinan

PELATIHAN KEPEMIMPINAN DI MASA DEPAN

Indonesia dewasa ini tengah memasuki suatu babakan baru dalam sejarah hidupnya. Hal ini berkaitan dengan terjadinya suatu proses perubahan global, sebagai kelanjutan dari gerak liberalisasi perdagangan dan produksi yang terus meluas. Makin dipastikan bahwa ekonomi Indonesia terintegrasi dalam perekonomian global, yang secara praktis hal tersebut bermakna terintegrasinya berbagai segi dalam kehidupan kita. Kedatangan barang dari mancanegara, tentu saja tidak bisa hanya dilihat sekedar banjir barang, sebab bagaimana pun hal tersebut memberikan pengaruh kepada mata dagangan, mata pencarian dan termasuk gaya hidup dalam masyarakat. Kondisi yang demikian, pada satu sisi telah menimbulkan begitu banyak keprihatinan, khususnya berkaitan dengan adanya fakta bahwa di banyak negeri proses global tersebut tidak selalu merupakan kebaikan, melainkan banyak yang menimbulkan dampak negatif, terutama oleh praktek ketidakadilan yang turut serta dalam proses tersebut. Krisis yang kini berlangsung, merupakan bagian dari cermin keprihatinan tersebut, dimana krisis global telah membawa akibat yang sangat luar biasa, dimana ekonomi Indonesia mengalami kemerosotan substansial, sehingga jumlah mereka yang berada di bawah garis kemiskinan telah melonjak sangat tajam, hingga mencapai kondisi Indonesia pada tahun 70-an: yang berarti terjadi kemunduran dua dasawarsa.

Sebagian pihak melihat secara lebih realistik, dimana perubahan tersebut tetap merupakan kenyataan yang tidak terbendung, sehingga yang tersisa adalah bagaimana menurunkan dampak negatif tersebut, dengan sekuat daya mempersiapkan apa yang paling mungkin disiapkan, agar bukan destruksi yang kita peroleh, melainkan kondisi yang menguntungkan. Cara pandang ini, melihat bahwa perubahan global, memunculkan peluang-peluang dan harapan-harapan baru, yang sangat mungkin diantisipasi dengan orientasi meraih kemanfaatan yang besar dan menghindari kemungkinan buruknya. Dalam konteks inilah, makin dirasakan perlunya pemikiran-pemikiran baru dan pendekatan-pendekatan baru, sebab diyakini bahwa perubahan yang terus berlangsung tidak akan mungkin lagi bisa dihadapi dengan cara-cara lama dan atau dengan menggunakan kerangka pikiran lama. Pembaruan dengan sendirinya menjadi kebutuhan yang sangat mutlak, Pembaruan yang dimaksud, tidak saja tertuju kepada sistem (dalam pengertian tata sosial), melainkan juga menyentuh persoalan individu. Masa depan hanya akan mungkin dijawab dengan tatanan baru yang digerakkan oleh “manusia baru dengan pikiran baru”, bukan “manusia baru dengan pikiran lama.

Kebutuhan pembaruan tersebut yang diletakkan dalam kerangka perubahan global, berarti kebutuhan untuk “bersiap-siap” agar tidak menjadi bulan-bulanan kekuatan global dalam suatu percaturan pasar bebas. Perjalanan bangsa dalam periode di bawah Orde Baru, memperlihatkan bahwa yang terbangun bukan suatu kondisi yang memungkinkan tumbuhnya sebuah bangsa yang kuat, malah sebaliknya. Pembangunan nasional yang bermuara kepada pencapaian pertumbuhan ekonomi dengan dukungan stabilitas politik –dengan menggunakan pendekatan keamanan—secara faktual telah menunjukan bahwa yang kemudian berlangsung adalah ketimpangan yang tajam, baik dalam ekonomi maupun politik. Sentralisasi kekuasaan, mengakibatkan mereka yang dapat tumbuh, adalah mereka yang dekat dengan lingkaran kekuasaan, sementara yang berada di luar itu, terus-menerus menjadi marjinal dan dimarjinalisasi.

Bangunan dengan ketimpangan yang tajam tersebut, tentu saja merupakan struktur yang sangat kompleks. Namun bila dilihat dari sudut kepemimpinan, maka sangat jelas tampak bagaimana kepemimpinan nasional yang ada memberikan pengaruh dalam perwatakan sistem yang ada. Hal ini pada gilirannya memberikan dampak kepada model kepempinan yang berkembang di masyarakat. Pola rekruitmen politik yang ditandai dengan nepotisme, koncoisme, dan berbagai bentuk lainnya, telah mengakibatkan sulitnya pertumbuhan kepemimpinan dari bawah, bahkan kemunculan kepemimpinan dari bawah seringkali memperoleh resistensi dari elit kekuasaan. Beberapa kondisi berikut, kiranya dapat menggambarkan model kepemimpinan yang ada:
Kepemimpinan sosial terhambat struktur kekuasaan; sistem politik represif tidak melahirkan pimpinan yg jujur; sistem sosial tdk kondusif bagi lahirnya pemimpin mandiri; feodalisme yg makin kuat; berkembangnya nepotisme; sistem tata nilai tidak menghargai kejujuran; nilai-nilai budaya yg tidak kondusif (tidak egaliter); macetnya saluran lahirnya pemimpin baru; birokrasi patrimonial melahirkan pemimpin “nggandul”; politik pembangunan mengkerdilkan calon pemimpin; sistem kolusi melahirkan; pemimpin curang; sistem politik tidak bisa melahirkan pemimpin handal; politik stabilitas memangkas pemimpin potensial; sistem patriarki tidak melahirkan pimpinan egaliter; ideologi pembangunanisme melahirkan pemimpin otoriter/fasis; hegemoni pemerintah selalu benar; kontrol sosial tidak berjalan; korupsi di berbagai bidang merajalela, hampir tidak terkendalikan.

Kondisi tersebut, telah memunculkan model kepemimpinan sebagai berikut: tidak mendengar aspirasi masyarakat; mementingkan diri dan kelompoknya; tidak konsisten antara perkataan dan perbuatan; bersikap sektarian; tidak berorientasi pada kepentingan rakyat kecil; rendahnya integritas moral; tidak accountable; taggung-jawab sosial parah; tidak memiliki konstituen yang mengakar; hilangnya kekuatan lokal sebagai media pengambilan keputusan; pemimpin justru memecah belah rakyat; kurangnya wawasan (visi) sosial politik; menerapkan “nepotisme”; kurang tahu persoalan yang dipimpin; bila dibiarkan akan jatuh; lamban; seragam, tidak kreatif; pemimpin justru merampok kekayaan negara; pemimpin tidak punya visi lingkungan; kurang punya visi ke depan perencanaan; pemimpin tidak punya visi ham, gender dan mempertahankan status-quo; pemimpin lebih mencerminkan penguasa; datang/muncul dari langit, tidak tumbuh dari bawah. Dalam kenyataannya, masih sangat banyak ciri “negatif” yang dapat ditampilkan oleh model kepemimpinan yang ada, khususnya dalam proses penyelenggaraan kekuasaan. Dengan model yang demikian, dapat dipastikan akan sulit bagi masyarakat luas untuk dapar berkembang dengan baik, terlebih lagi dalam menghadapi arus perkembangan global, yang semakin membutuhkan kualitas kapasitas yang tinggi.

Oleh sebab itu, diperlukan model kepemimpinan alternatif bagi masa depan, dengan ciri antara lain sebagai berikut: harus dapat memahami jaman; melayani yang dipimpin; bekerja di bawah mekanisme kontrol; menjalankan ajaran agama dengan benar; memenuhi tugas yang diemban; merakyat; tidak arogan; tidak menjilat; merupakan alat rakyat mampu mengintegrasikan berbagai kepentingan secara adil; pengambilan keputusan dengan kosensus; bersikap adil; pendidik; kritis; jangan berdagang; jangan menunggu petunjuk saja;bertindak berdasarkan konsep berkelanjutan dan bertumpu pada rakyat; memahami demokrasi, HAM dan lingkungan hidup; dialogis; mendorong perkembangan masyarakat; muncul dari yang berakar; peduli terhadap nasib rakyat kecil dan kurang berdaya; bersikap sebagai negarawan yang mementingkan persatuan tapi kesatuan bangsa; menciptakan rasa aman bagi orang yang dipimpin. Secara prinsip pemimpin yang dimaksud adalah pribadi yang “baik”, memiliki integritas moral yang tinggi, menjalankan fungsi-fungsi yang bermuara kepada melayani dan mengembangkan ruang untuk rakyat dapat berkembang, yang karenanya patut memiliki visi kedepan yang memadai, seperti masalah hak asasi, lingkungan hidup, keadilan gender, dan lain-lain (lihat bagan).

Pelatihan Kepemimpinan Masa Depan.

Untuk menjawab tantangan masa depan, khususnya untuk ikut ambil bagian dalam proses mengembangkan kepemimpinan yang dicita-citakan tersebut, USCF/SATUNAMA, mengupayakan suatu bentuk pelatihan. Hadirnya pelatihan ini, tentu saja dengan kesadaran bahwa proses ini hanya merupakan salah satu dari aternatif yang dapat diambil dari kompleksitas jalan untuk melahirkan generasi baru pemimpin masa depan. Sangat disadari bahwa sistem pendidikan yang ada, masih jauh dari memadai untuk diproyeksikan menjadi wahana yang dapat melahirkan generasi baru pemimpin yang dimaksud. Bahkan dalam konteks kekinian, sistem pendidikan yang ada, telah secara “optimal” terintegrasi dalam sistem politik nasional, yang bekerja justru “mempertahankan status quo”, ketimbang memberikan peluang bagi munculnya generasi baru yang kritis dan berorientasi ke bawah (masyarakat).

No comments:

Post a Comment